Monday, October 30, 2006

Ingin Menjadi Apakah Anak Kita?


Kita ingin anak-anak kita bahagia, dan sekilas, tampaknya cara tercepat untuk meraih kebahagiaan adalah dengan uang (Elisabeth Guthrie).

Andai punya waktu, cobalah mainlah ke tempat kursus bahasa asing, atau play group, sanggar kesenian, kafe internet, sekolah plus, dan tempat-tempat pengembangan diri lainnya. Anda akan melihat banyak ibu muda--berusia sekitar 40 tahunan ke bawah--yang "nongkrong" di tempat-tempat tersebut. Yang jelas, mereka tidak sedang mengikuti salah satu kegiatan yang ada di tempat itu. Mereka sedang menunggui anak-anaknya yang tengah belajar dan beraktivitas di sana.

Fenomena seperti ini terbilang baru, seiring meningkatnya status ekonomi dan pemahaman sebagian besar masyarakat--khususnya di kota besar--tentang arti penting pendidikan. Apa yang diinginkan ibu-ibu muda tersebut, termasuk kita, terhadap anak-anaknya? Sudah pasti mereka menginginkan anaknya hidup bahagia dan mampu bersaing di era globalisasi yang demikian kompetitif.

Benarkah seperti itu? Andai kita analisis lebih dalam, umumnya, faktor utama yang mendorong tiap orangtua meng-upgrade anak-anaknya untuk maju adalah uang. Ya uang. Kebahagiaan adalah apa yang bisa kita dapat dengan uang. Setidaknya itulah yang diungkapkan Elisabeth Guthrie dan Kathy Matthews dalam bukunya Anak Sempurna atau Anak Bahagia? Dilema Orangtua Modern (Qanita Mizan, Oktober 2003).

Apa yang diungkapkan oleh kedua penulis tersebut memang masuk akal. Jaman sekarang adalah jaman uang. Segala sesuatu seringkali diukur dengan uang (materi). Orientasi orangtua menyekolahkan anaknya bukan lagi agar anak tersebut berakhlak mulia dan beriman kuat, tapi bagaimana anak tersebut bisa mendapat kerja dan karier yang bagus, untuk kemudian menghasilkan uang banyak.

Ternyata, masih menurut Guthrie dan Matthews, kecenderungan seperti ini telah mengakibatkan kondisi yang tidak baik bagi anak dan orangtua. Anak seringkali tertekan jiwanya ketika dihadapkan pada sebuah tuntutan untuk maju. Memang secara kognitif dan psikomotorik mereka berkembang, tapi secara kejiwaan mereka kalah dan tidak bahagia. Demikian pula orangtua, alih-alih bahagia, mereka sering kecewa, cemas, dan bingung menghadapi tuntutan jaman seperti ini. Apalagi ketika menghadapi realitas anak yang tidak sesuai keinginan.

Anak tetaplah anak-anak, bukan orang tua berbadan kecil. Ia memiliki dunia tersendiri yang sangat unik dan menarik; dunia yang berbeda dengan dunia orangtuanya. Timbulnya permasalahan di atas, selain orientasi yang salah dalam pendidikan, diakibatkan pula kegagalan orangtua dan guru dalam memahami anak sebagai individu yang unik.

Seringkali, karena gengsi dan tuntutan jaman yang semakin kompetitif, orangtua menuntut anaknya untuk menjadi "orang super" yang diusia dini telah mampu berbahasa Inggris dengan fasih, menguasai beberapa program komputer, mampu memainkan piano, dan lainnya. Orangtua pun seringkali "memaksa" anaknya untuk menjadi ini dan itu, sampai memilih jurusan di perguruan tinggi pun mereka ikut campur.

Kita paham bahwa orangtua melakukan semua ini tujuannya mulia, ingin anaknya sukses dan bahagia. Tapi semua ini mengandung implikasi negatif. Orangtua sering menyamaratakan kemampuan dan potensi anaknya dengan anak lain. Akibatnya, anak mengalami tekanan dan seringkali berakhir dengan kegagalan atau frustasi.

Allah SWT menciptakan setiap individu berbeda. Masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan. Apabila kekurangannya diterima apa adanya, sementara kelebihannya dikembangkan dengan baik, insya Allah individu akan dapat berprestasi secara optimal.

Kita tidak bisa menuntut anak kita seperti Joshua atau Sherina yang memiliki talenta luar biasa dan mampu menjadi seleb sekaligus jutawan cilik. Anak kita pasti memiliki bakat dan potensi yang tidak dimiliki Joshua ataupun Sherina, dan itulah yang patut kita kembangkan. Karenanya, sebelum menjejali mereka dengan keterampilan-keterampilan praktis, kita harus mampu menjadikan anak kita sebagai dirinya sendiri. Sekali lagi, jadikanlah mereka dirinya sendiri, untuk kemudian kita mengarahkannya.

0 comments: