Monday, October 30, 2006

Amanat Itu Telah Diambil


Diceritakan, ada sebuah keluarga yang hidup pada zaman Rasulullah di Madinah, Abu Thalhah dan istrinya Rumaisah yang telah dikaruniai seorang putra. Saat itu, kondisi keuangan keluarga memprihatinkan dan memaksa Abu Thalhah keluar Madinah untuk berniaga. Hatinya sungguh berat meninggalkan istri dan anaknya yang sedang terbaring sakit. Namun pada akhirnya, hatinya pasrah menyerahkan segala urusan pada Allah SWT.

Perniagaan Abu Thalhah berhasil luar biasa. Dia pun tidak tahan untuk kembali pada keluarganya membagi kegembiraan. Sementara itu, istrinya di rumah kebingungan memikirkan cara untuk menyampaikan kabar pada suaminya tentang anaknya yang meninggal dunia. Rumaisah tidak ingin merusak kegembiraaan suaminya dan dia pun tahu betul bagaimana kondisi suaminya jika diberi kabar menyedihkan secara mendadak.

Kepulangan Abu Thalhah disambut gembira oleh istrinya seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Saat Abu Thalhah menanyakan perihal anaknya, istrinya menjawab bahwa anak mereka sekarang dalam keadaan tenang dan lebih baik daripada sebelumnya. Abu Thalhah pun tenang dan tidak menyangka hal yang tidak-tidak.

Singkat cerita, Rumaisah bercerita pada Abu Thalhah tentang tetangganya yang merasa ketakutan dan gelisah karena amanat yang dititipkan padanya telah diambil si empunya. Abu Thalhah langsung menanggapi: "Wah, itu tidak baik. Mereka tidak boleh berbuat demikian!"

Mendengar jawaban itu, Rumaisah merasa mendapat jalan untuk menyampaikan berita duka pada suaminya. "Demikian juga dengan anakmu, suamiku. Titipan amanat itu telah diambil Allah." Dengan ketegaran dan ketabahannya, akhirnya Rumaisah berhasil memberitahu kabar duka tersebut pada suaminya.

Kisah tersebut bisa kita jadikan keteladanan dalam hidup sehari-hari. Ketabahan, kesabaran, ketegaran, dan kepandaian Rumaisah bisa menjadi inspirasi bagi para istri dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. Rumaisah menganggap kematian anaknya sebagai ketaatan dan tunduk kepada iradat Allah.

Sebetulnya, bukan saja kematian yang harus kita hadapi dengan tabah, tegar, sabar, dan pandai. Tapi, ujian apapun bisa disikapi dengan sama. Bukan hanya kesusahan yang termasuk ujian, tapi kesenangan pun merupakan ujian yang harus kita terima dengan kehati-hatian.

Anak adalah karunia Allah sekaligus amanat yang dipikulkan pada kita sebagai orang tua. Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga harus disyukuri dengan cara membentuk sikap Islami sesuai akhlak terpuji yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Anak menganggap bahwa orang tua adalah pemimpin bagi mereka. Ayah sebagai pemimpin umum mempunyai tugas dan tanggung jwab penuh terhadap kelangsungan keluarganya. Ayah betanggung jawab atas urusan-urusan ekstern rumah tangga. Sedangkan ibu mempunyai tugas bagian intern keluarga.

Seorang pemimpin yang shalih mempunyai sikap utama yaitu adanya kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang dikerjakan. Rasulullah adalah contoh nyata yang bisa kita ikuti keteladanannya.

Rasulullah tidak memerintahkan kebaikan kecuali dialah yang melaksanakannya pertama kali. Dia tidak melarang dari sesuatu keburukan kecuali dialah orang pertama kali yang meninggalkannya. Dia berhasil mengalahkan, tetapi tidak sombong dan tidak membuat kecemasan. Dia menepati janji dan memenuhinya.

Sikap Rasulullah sebagai pemimpin dunia patut ditiru oleh para orang tua dalam memimpin keluarga. Mengingat anak adalah amanat yang Allah titipkan pada kita dalam keadaan fitrah, maka idealnya saat Allah meminta kembali miliknya, anak ada dalam kondisi baik.

Sebagai perbandingan, seorang teman menitipkan buku kepada kita dalam keadaan bersih tanpa tulisan apapun. Saat dia datang dan meminta kembali bukunya, dia akan menghujani kita dengan pertanyaan seputar buku yang kita jaga. Jika buku tersebut dijaga dengan baik, otomatis ucapan terima kasih akan keluar dari mulutnya. Walaupun kita sempat menuliskan beberapa tulisan atau gambar dalam bukunya, jika itu akan membuat mata kita sejuk, niscaya dia tidak akan marah.

Namun sebaliknya, jika buku tersebut dikembalikan dalam kondisi lusuh, sobek di sana-sini, dan sudah tidak karuan lagi penampilannya, maka pasti dia akan marah besar. Dan kita dianggap sebagai orang yang tidak mampu menjaga amanat, padahal kita sudah menyanggupi sebelumnya untuk menjaga dengan baik.

Demikian juga dengan anak yang diamanatkan Allah kepada kita. Maka, kita harus siap jika suatu saat nanti Allah mengambil kembali titipan amanat itu. Kita berharap, titipan amanat itu ada dalam keadaan baik saat diambil oleh-Nya. Sehingga pertanggungjawaban kita di hadapan-Nya pun kelak akan lebih mudah.

0 comments: